RSS

KEWAJIBAN PERUSAHAAN PENERBANGAN ATAS BAGASI PESAWAT

03 Jun
  1. PERMASALAHAN HUKUM

    Sehubungan dengan banyaknya permasalahan perlindungan konsumen yang terjadi di Indonesia dan salah satu permasalahan hukum perlindungan konsumen yang menarik di Indonesia adalah mengenai tanggung jawab perusahaan penerbangan yang ada di Indonesia yaitu mengenai sejauh mana tanggung jawab perusahaan penerbangan atas bagasi pesawat. Dalam keseharian banyak permasalahan timbul karenanya adanya pembatasan dari tanggung jawab perusahaan penerbangan atas bagasi pesawat yang dinilai terlalu kecil bagi sebagian orang yang hanya sebatas Rp.100.000 (seratus ribu Rupiah) per Kilo Gram. berikut ini adalah penjelasan mengenai tinjauan tanggung jawab perusahaan penerbangan berdasarkan hukum penerbangan Internasional dan Nasional, Kitab Undang –undang Hukum Perdata dan Hukum Perlindungan Konsumen.

    Sehubungan dengan latar belakang diatas dalam tulisan ini akan dibahas mengenai permasalahan hukum sebagai berikut: (i) bagaimanakah tanggung jawab dari perusahaan penerbangan atas bagasi pesawat apabila barang dalam bagasi pesawat rusak atau hilang?, (ii) sejauh mana tanggung jawab perusahaan penerbangan tersebut?, dan (iii) perlindungan hukum apa serta upaya hukum apa yang dapat ditempuh oleh penumpang dan/atau pengirim barang apabila merasa dirugikan?

  2. PERATURAN TERKAIT

    Dalam makalah ini saya akan menjabarkan dan menjelaskan pokok permasalahan diatas berdasarkan peraturan-peraturan sebagaimana disebutkan dibawah ini:

    1. Peraturan Perundang-Undangan Nasional:
      1. Ordonansi Pengangkutan Udara – Luchtvervoer Ordonantie – Stb 1939 No.100;
      2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1992 Tentang Penerbangan sebagaimana dirubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Perubahan Undang Undang Nomor 15/1992 Tentang Penerbangan (“UU Penerbangan”)
      3. Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (“Undang-Undang Perlindungan Konsumen”)
      4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1995 Tentang Angkutan Udara sebagaimana dirubah oleh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 Tentang Angkutan Udara (“PP Angkutan Udara”);
      5. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 25 Tahun Tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 81 Tahun 2004 Tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara (“KM Angkutan Udara”);
      6. Kitab Undang Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata“)
      7. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2004 Tentang Hak Uji Materiil.
      8. Putusan Mahkamah Agung Nomor 12 P/HUM/2008 tanggal 16 September 2008 Tentang Hak Uji Materiil PP Angkutan Udara.
    2. Ketentuan Hukum Penerbangan International:
      1. Convention for the Unification of Certain Rules relating to International Transportation by Air Signed at Warsaw on 12 October 1929;
      2. Protocol to Amend the convention for the Unification of certain rules relating to international carriage by air. Warsaw 12 October 1929;
      3. General Conditions of Carriage (Passenger and baggage), IATA 1 November 1975;
      4. Convention for the Unification of Certain Rules for International Carriage by Air signed at Montreal on 28 May 1999;
  3. HUKUM PENERBANGAN INTERNATIONAL TENTANG TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN PENERBANGAN ATAS BAGASI PESAWAT
  4. Hukum penerbangan internasional yang mengatur mengenai tanggung jawab perusahaan penerbangan internasional pertama kali diatur didalam Konvensi Warsawa 1929 tentang Convention for the Unification of Certain Rules Relating to International by Air yang ditandatangani pada tanggal 12 Oktober 1929 serta mengalami beberapa kali perubahan dan tambahan..
  5. Konvensi Warsawa merupakan konvensi induk yang mengatur keseragaman dan rezim hukum tanggung jawab perusahaan penerbangan sebagai pengangkut apabila penumpang meninggal dunia, mengalami luka, cacat sementara atau tetap, barang hilang ataupun rusak.
  6. Salah satu cakupan dalam konvensi ini adalah untuk penerbangan internasional antara dua negara yang menjadi anggota Konvensi Warsawa, pembatasan dalam konvensi ini adalah, konvensi ini tidak mengatur mengenai penerbangan dengan menggunakan pesawat negara atau pesawat polisi atau bea cukai. s
  7. Dalam Konvensi ini juga mengatur mengenai unifikasi dokumen yang terdiri dari tiket penumpang, tiket bagasi, dan surat muatan udara (bukti perjanjian pengangkutan) serta unifikasi penggunakan tanggung jawab hukum praduga bersalah (presumtion of liability) disertai dengan exoneration clause, wilful misconduct, contributary negligence, jumlah ganti kerugian, tanggung jawab untuk penumpang dan atau barang.
  8. Tiket penumpang, tiket bagasi, dan surat muatan udara merupakan bukti adanya perjanjian pengangkutan, dengan tidak dipenuhinya kewajiban bagi perusahaan penerbangan yang tidak menyerahkan dokumen tersebut, perusahaan penerbangan tidak berhak untuk tanggung jawab terbatas.
  9. Perusahaan penerbangan bertanggung jawab atas rusak atau hilangnya bagasi yang diderita oleh penumpang dan/atau pengirim barang apabila kejadian tersebut berlangsung selama angkutan udara (sejak barang diserahkan oleh penumpang dan/atau sampai barang diserahkan kembali kepada pemilik barang dan/atau pengirim barang).
  10. Pasal 22 Konvensi Warsawa yang mengatur mengenai tanggung jawab perusahaan penerbangan atas bagasi pewasat penumpang menerapkan konsep tanggung jawab hukum praduga bersalah (presumtion of liability) bagi perusahaan penerbangan. Dalam konsep tanggung jawab ini perusahaan penerbangan demi hukum bertangung jawab, tanpa perlu dibuktikan terlebih dahulu adanya kesalahan perusahaan penerbangan, namun sayangnya tanggung jawab ini dibatasi untuk nilai tertentu.
  11. Pasal 22 Ayat 2 Konvensi Warsawa:
    1. “1.     ………
    2. 2.     In the carriage of registered luggage and of goods, the liability of the carrier is limited to a sum of 250 francs per kilogram, unless the consignor has made, at the time when the package was handed over to the carrier, a special declaration of the value at delivery and has paid a supplementary sum if the case so requires. In that case the carrier will be liable to pay a sum not exceeding the declared sum, unless he proves that that sum is greater than the actual value to the consignor at delivery.
    3. 3.     ….. dst”
  1. Pasal 25 Konvensi Warsawa:
    1. “1.     The carrier shall not be entitled to avail himself of the provisions of this Convention which exclude or limit his liability, if the damage is caused by his wilful misconduct or by such default on his part as, in accordance with the law of the Court seised of the case, is considered to be equivalent to wilful misconduct.
    2. 2.     Similarly the carrier shall not be entitled to avail himself of the said provisions, if the damage is caused as aforesaid by any agent of the carrier acting within the scope of his employment.”
  2. Sebagaimana disebutkan didalam Pasal 22 Konvensi Warsawa diatas dapat dilihat bahwa tanggung jawab perusahaan penerbangan atas bagasi pesawat dalam Konvensi Warsawa ini dibatasi hanya mencapai 250 fracs perkilogram.
  3. Namun dalam keadaan tertentu tanggung jawab perusahaan penerbangan atas bagasi pesawat dapat menjadi tidak terbatas apabila penumpang atau pengirim barang dapat membuktikan bahwa perusahaan penerbangan atau karyawan, pegawai agen atau perwakilannya yang bertindak untuk dan atas nama perusahaan penerbangan berbuat kesalahan yang disengaja (wilful misconduct) atau perbuatan tersebut dapat dikatakan sebagai kesengajaan apabila penumpang dapat membuktikan kesalahan yang dilakukan oleh perusahaan penerbangan maka perusahaan penerbangan dapat digugat atas kerugian yang diderita oleh penumpang dengan tanggung jawab tidak terbatas (unlimited liability) (Pasal 25 Konvensi Warsawa)
    1. HUKUM PENERBANGAN INTERNATIONAL NASIONAL TENTANG TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN PENERBANGAN ATAS BAGASI PESAWAT

Konsep Tanggung Jawab Perusahaan Penerbangan Atas Bagasi Pesawat

  1. Dasar-dasar pemikiran serta tujuan dibuatnya peraturan perundang-undangan dalam menyusun peraturan penerbangan nasional, khususnya dasar pemikiran PP Angkutan Udara pada khususnya yang menjadi permasalahan utama dalam penulisan ini adalah ketentuan Pasal 44 Ayat 1 PP 40/1995 yang membatasi tanggung jawab perusahaan penerbangan atas bagasi pesawat.
  2. Berikut ini adalah beberapa tanggung jawab yang berlaku baik internasional dan nasional pada dasarnya suatu tanggung jawab hukum didasarkan adanya kesalahan atau kelalaian, dimana pihak yang melakukan kesalahan diwajibkan untuk menanggung kerugian yang disebabkan adanya kesalahan atau kelalaiannya. Dalam konsep tanggung jawab hukum atas adanya kesalahan ini terdapat beberapa konsep. Berikut adalah konsep tanggung jawab berdasarkan kesalahan atau kelalaian:
    1. Tanggung Jawab Hukum Berdasarkan Kesalahan;
    2. Menurut konsep tanggung jawab berdasarkan kesalahan pihak yang melakukan kesalahan atau kelalaian dan mengkibatkan kerugian kepada pihak lain maka pihak yang melakukan kesalahan tersebut harus bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkannya.
    3. Dihubungan dengan permasalahan yang ada maka apabila penumpang dan/atau pengirim barang dapat membuktikan adanya kesalahan perusahaan penerbangan dan mengakibatkan kerugian bagi penumpang dan/atau pengirim barang., apabila kesalahan itu dapat dibuktikan maka perusahaan penerbangan harus membayar seluruh ganti kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pengirim barang. Perusahaan penerbangan bertanggung jawab tidak terbatas (unlimited liability) dalam arti beberapa pun kerugian yang diderita oleh penumpang dan atau/pengirim barang harus dibayar penuh oleh perusahaan penerbangan.
  • Konsep tanggung jawab ini adalah konsep tanggung jawab yang paling adil dan wajar, akan tetapi dalam pelaksanaannya konsep tanggung jawab hukum atas dasar kesalahan ini terkadang tidak dapat terlaksana dengan baik karena kedudukan diantara pihak yang bersengketa terkadang tidak seimbang. Begitu pula dalam hukum penerbangan dimana diantara penumpang dan/atau pemilik barang tidak seimbang dalam hal membuktikan adanya kesalahan, dimana penumpang dan/atau pemilik barang akan kesulitan untuk membuktikan kesalahan yang dilakukan oleh perusahaan penerbangan apabila perusahaan penerbangan melakukan kesalahan. Hal ini lah yang mengakibatkan tanggung jawab ini sulit untuk diterapkan karena kurang melindungi kepentingan penumpang dan/atau pemilik barang.
  1. Tanggung Jawab Hukum Praduga Bersalah (Presumption of Liability);
  2. Sebagaimana dijelaskan diatas dalam konsep tanggung jawab atas dasar kesalahan (based on fault liability) pada penerbangan sulit untuk diterapkan karena penumpang dan/atau pemilik barang apabila harus membuktikan adanya kesalahan perusahaan penerbangan kemungkinan besar tidak akan berhasil atau setidak-tidaknya akan mengalami kesulitan. Oleh sebab itu sejak tahun 1929 diperkenalkan konsep tanggung jawab hukum praduga bersalah (presumption of liability concept) dalam pengangkutan udara.
  3. Konsep tanggung jawab hukum praduga bersalah ini mulai diperkenalkan dalam konvensi Warsawa pada tahun 1929. Menurut konsep tanggung jawab ini perusahaan penerbangan dianggap bersalah atas bagasi pesawat sehingga demi hukum perusahaan penerbangan harus mengganti kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pemilik barang tanpa terlebih dahulu dibuktikan adanya kesalahan perusahaan penerbangan. Artinya perusahaan penerbangan dianggap bersalah atas hilang atau rusaknya barang yang ada dibagasi pesawat milik penumpang walaupun kesalahan belum dibuktikan dan dengan demikian perusahaan penerbangan harus mengganti kerusakan atau hilangnya barang tersebut (dalam hukum dikenal sebagai beban pembuktian terbalik).
  4. Dengan adanya konsep ini maka penumpang dan/atau pemilik barang diberikan perlindungan hukum dan kemudahan karena tidak perlu membuktikan adanya kesalahan dari perusahaan penerbangan atas kerugian yang terjadi, melainkan hanya cukup memberi tahukan adanya kerugian dan perusahaan penerbangan harus membayar kerugian tersebut kepada penumpang dan/atau pengirim barang. Karena perusahaan penerbangan berdasarkan prinsip ini sudah dianggap melakukan kesalahan, apabila perusahaan penerbangan menyatakan tidak melakukan kesalahan maka perusahaan penerbangan lah yang diwajibkan untuk membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan kesalahan.
  5. Dengan konsep tanggung jawab hukum praduga bersalah dan beban pembuktian terbalik yang menguntungkan penumpang dan/atau pengirim barang dimana tidak perlu membuktikan adanya kesalahan perusahaan penerbangan ini, maka bagi perusahaan penerbangan perlu juga diberikan perlindungan hukum yaitu dengan pembatasan tanggung jawab atas kerugian yang terjadi (ganti rugi dibatasi dengan ketentuan tertentu). Dalam konsep tanggung jawab hukum praduga bersalah ini perusahaan penerbangan diberikan batas maksimum ganti kerugian atas bagasi pesawat sebagaimana diatur Stb. 1939-100 jo Pasal 44 (1) PP 40/1995. sedangkan untuk hukum penerbangan Uni eropa besarnya ganti rugi bagasi pesawat ditentukan berdasarkan jarak penerbangan dan ditentukan berdasarkan dengan perhitungan Special Drawing Right.
  6.  
  7. Tanggung Jawab Tidak Terbatas Atas Dasar Kesalahan (Unlimited Liability);
  8. Bagi penumpang dan/atau pemilik barang yang dapat membuktikan adanya kesalahan yang dilakukan oleh perusahaan penerbangan maka terbuka kemungkinan penumpang dan/atau pengirim barang dapat mendapatkan ganti rugi secara penuh atas seluruh kerugian yang dialaminya. [prinsip ini diatur didalam Pasal 1365 dan Pasal 1367 KUHPerdata].
  9. Apabila penumpang dan/atau pengirim barang dapat membuktikan adanya kesalahan perusahaan penerbangan maka perusahaan penerbangan yang melakukan kesalahan harus mengganti kerugian tersebut dan pembatasan tanggung jawab yang diatur dalam konvensi atau peraturan perundang-undangan yang membatasi tanggung jawab perusahaan penerbangan atas bagasi pesawat tidak berlaku, hal ini mengakibatkan perusahaan penerbangan harus bertanggung jawab penuh atas seluruh kerugian yang dialami oleh penumpang dan/atau pengirim barang tersebut. [Pasal 25 Konvensi Warsawa]
  10. Hukum Penerbangan Nasional.
  11. Hukum penerbangan nasional pada umumnya menganut prinsip Tanggung Jawab Hukum Praduga Bersalah (Presumption of Liability). Pada dasarnya atas kerugian yang dialami oleh penumpang dan/atau pemilik barang, perusahaan penerbangan dianggap melakukan kesalahan sehingga perusahaan penerbangan harus mengganti kerugian tersebut sebatas yang diwajibkan oleh Pasal 44 Ayat 1 PP 40/1995 yang menyatakan sebagai berikut:
    1. “(1)    Jumlah ganti rugi untuk kerugian bagasi tercatat, termasuk kerugian karena kelambatan dibatasi setinggi-tingginya Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk setiap kilo gram.
  12.  
  13. Berdasarkan ketentuan Pasal 44 PP 40/1995 ayat 1 ditentukan bahwa atas kerugian bagasi tercatat perusahaan penerbangan berkewajiban untuk menggantinya maksimal sebesar Rp.100.000,00 (seratus ribu Rupiah) per KG, dan penumpang dan/atau pengirim barang tidak berkewajiban untuk membuktikan bahwa perusahaan penerbangan melakukan kesalahan.
  14. Ganti Rugi Perdasarkan PP 40/1995 sudah tidak sesuai:
  15. Pembatasan ganti rugi penumpang dan bagasi oleh perusahaan penerbangan yang diatur didalam Pasal 43 Ayat 1 dan 44 Ayat 1 PP 40/1995 sebelumnya sudah pernah diajukan uji materiil karena dianggap sudah tidak sesuai lagi dan lebih menguntungkan perusahaan penerbangan karena pembatasan tanggung jawab perusahaan penerbangan dinilai sangat kecil. Uji materiel ini diajukan oleh David M.L.Tobing, SH., M.Kn kepada Mahkamah Agung dan telah diputuskan oleh Mahkamah Agung pada tanggal 16 September 2008 melalui keputusan Hak Uji Materiil Nomor 12 P/HUM/2008.

    Dasar permohonan hak uji materiel yang diajukan oleh David M.L.Tobing, SH., M.Kn karena ketentuan Pasal 43 dan Pasal 44 PP 40/1995 bertentangan dengan ketentuan Pasal 1365 Jo Pasal 1243 dan Pasal 1246 KUHPerdata yang menyatakan pihak yang melakukan kesalahan dan mengakibatkan kerugian bagi pihak lain harus mengganti kerugian pihak yang dirugikan tersebut.

    Sangat disayangkan Permohonan uji meteriil dalam memeriksa permohonan tersebut majelis hakim yang memeriksa permohonan ini tidak mempertimbangkan subtansi perkaranya yang diajukan sama sekali akan tetapi justru hanya mempertimbangkan hukum acara hak uji materiil.

    Hak Uji Materiil ini terbentur dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 2 Ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2004 Tentang Hak Uji Materiil yang menyebutkan bahwa suatu peraturan perundang undangan hanya dapat diajukan hak uji materiil dalam jangka waktu 180 (seharus delapan puluh hari) sejak peraturan tersebut diundangkan. Sehubungan dengan PP 40/1995 yang diundangkan pada tanggal 17 November 1995, hal ini menjadikan hak uji materiil yang diajukan oleh David M.L.Tobing, SH., Mkn ditolak tanpa mempertimbangkan substansi hak uji materill yang diajukan.

    Menurut pendapat penulis hak uji materiil ini memang sudah selayaknya diajukan karena nilai ganti rugi yang ditentukan dalam Pasal 43 Ayat 1 dan Pasal 44 Ayat 1 PP 40/1995 memang sudah tidak sesuai dengan perkembangan yang ada dimana nilai tanggung jawab yang dibatasi dirasakan sangat kecil. Akan tetapi sebenarnya konsep tanggung jawab yang diatur didalam Pasal PP 40/1995 sudah tepat dimana Peraturan Pemerintah ini sebenarnya bertujuan untuk melindungi kepentingan penumpang dan/atau pemilik barang yang tidah seimbang sehingga penumpang dan/atau pemilik barang tidak diwajibkan membuktikan adanya kesalahan perusahaan penerbangan disamping pembuktian ini sangat sulit waktu dan biaya yang dihabiskan pun akan besar karena harus ditempuh sesuai dengan hukum yang berlaku yaitu melalui Badan Pemeriksa Sengketa Konsumen dan Pengadilan. Sehubungan dengan hal tersebut maka menurut pendapat saya yang perlu diperbaiki hanyalah nilai ganti kerugiannya saja yang harusnya ditingkatkan dan bukan penghapusan PP 40/1995.

    Namun begitu pula pendapat hukum yang disampaikan oleh David M.L.Tobing, SH., Mkn dalam mengajukan hak uji materiel atas ketentuan Pasal 43 Ayat 1 dan Pasal 44 Ayat 1 PP 40/1995 karena bertentangan dengan ketentuan yang terdapat didalam Pasal 1356 dan Pasal 1367 KUHPerdata saya kurang sependapat karena menurut pendapat penulis ketentuan Pasal 1365 dan Pasal 1367 KUHPerdata masih dapat dipergunakan oleh penumpang dan/atau pemilik barang sebagai upaya hukum lain apabila ketentuan yang terdapat didalam Pasal Pasal 43 Ayat 1 dan Pasal 44 Ayat 1 PP 40/1995 dinilai masih merugikan dan penumpang dan/atau pemilik barang dapat membuktikan kesalahan yang dilakukan oleh perusahaan penerbangan.

  16. Hukum Perlindungan Konsumen:
  17. Pasal 7 Undang Undang Perlindungan Konsumen:
  18. “Kewajiban pelaku usaha adalah:
    1. ……….
    2. ……….
    3. f.     memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
    4. g.     memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.”
  19.  
  20. Pasal 19 Undang Undang Perlindungan Konsumen:
    1. (1)    Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
    2. (2)    Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
    3. (3)    Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.
    4. (4)     Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
    5. (5)    …………
  21. Sebagaimana disebutkan didalam Pasal 7 Huruf F dan G Jo Pasal 19 Ayat 1 dan Ayat 2 Undang Undang Perlindungan Konsumen ditentukan bahwa pelaku usaha/perusahaan penerbangan harus bertanggung jawab atas seluruh kerugian yang dialami oleh konsumen/ penumpang dan/atau pengirim barang.
  22. Perbuatan Melawan Hukum:

    Sebagai konsep Perbuatan melawan hukum dalam pasal 1365 dan Pasal 1367 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa:

Pasal 1365 KUHPerdata:

“setiap perbuatan yang melawan hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain mewajibkan orang karena salahnya menerbitkan kerugian ini mengganti kerugian tersebut“.

 

Pasal 1367 KUHPerdata:

“Seseorang tidak hanya bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatan sendiri tetapi juga disebabkan karena perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya, atau oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya.”

  1. Unsur-unsur Perbuatan Melawan Hukum
  2. Untuk menyatakan seseorang atau suatu badan hukum harus terlebih dibuktikan adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang atau badan hukum tersebut. Unsur-unsur tersebut adalah:
    1. Adanya perbuatan melawan hukum;
    2. Adanya kerugian;
    3. Adanya hubungan antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian yang timbul;
  3. Setelah dibuktikan adanya perbuatan melawan hukum dengan memenuhi unsur-unsur diatas barulah orang yang menuntut tersebut berhak atas ganti rugi yang di deritanyanya baik itu materill atau immaterial.
  4. Badan Hukum Dapat Bertanggung Jawab Atas Perbuatan Melawan Hukum.

    Berdasarkan teori organ sebagaimana dijelaskan dibawah ini suatu badan hukum dapat melakukan perbuatan melawan hukum karena memiliki kehendaknya sendiri

  5. teori organ (organen theorie) yang diajarkan oleh ” von Gierke, di Negeri Belanda dianut oleh nona Polano.
  6. Teori organ mengakui adanya orang di samping para anggotanya, tapi bukanlah orang yang dibayangkan, melainkan merupakan orang sungguh-sungguh, yang mempunyai kecakapan untuk bertindak dan juga memililh kebendaknya sendiri.
  7. Kehendak tersebut dibentuk dalam otak para anggota, akan tetapi karena para anggota tersebut pada waktu membentuk dan mengutarakan kehendaknya bertindak selaku organ, yakni sebagai bagian daripada organisme yang berwujud orang, maka kehendak tersebut juga merupakan kehendak dari badan hukum.
  8. Sejak Hoge Raad (Mahkamah Agung Belanda) menganut teori organ telah menjadi yurisprudensi yang tetap, bahwa suatu badan hukum dapat dipertanggung jawabkan berdasarkan pasal 1365 K.U.H.Perdata, yakni bilamana organnya melakukan perbuatan melawan hukum.
  9. Menurut pendapat Hofmann yang dapat dianggap sebagai organ-organ sedemikian itu adalah mereka yang melakukan sesuatu fungsi pada badan hukum yang menyebabkan mereka dapat dianggap memiliki pengaruh atas terbentuknya kehendak badan hukum tersebut.
  10. Bilamana sesuatu badan hukum dianggap sebagai benar-benar orang yang mempunyai wewenang. untuk bertindak, Dengan memiliki kebendaknya sendiri, ‘maka dapat ditarik. kesimpulannya bahwa badan hukum tersebut harus pula dapat dianggap memenuhi unsur kesalahan dalam melakukan perbuatan melawan hukum.
  11. Ganti Rugi Berdasarkan Perbuatan Melawan Hukum;
  12. KUHPerdata tidak mengatur lebih lanjut mengenai ganti rugi perbuatan melawan hukum ini. Pada praktek yang berkembang ganti rugi perbuatan melawan hukum ini harus dirinci dan dibuktikan oleh pihak yang merasa dirugikan atau tidak akan diterima oleh hakim. Hal ini dapat dilihat dari beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung Sebagai berikut ini:
    1. Putusan Mahkamah Agung No.3138K/Sip/Pdt/1994 tanggal 29 April 1997 menyatakan bahwa:
    2. “Bahwa ganti tugi yang didasarkan pada kekecewaan tidak dapat dikabulkan, bilamana dalam gugatan tersebut tidak dirinci beberapa besarnya ganti rugi yang diminta”
    3. [Himpunan Kaidah Hukum Putusan Perkara dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Tahun 1969-2008 – hal 137]
    4.     Putusan Mahkamah Agung No. 588 K/Sip/1983 tanggal 28 Mei 1984, yang dalam pertimbangan hukumnya menyatakan:
    5. “bahwa tentang ganti rugi penggugat asal sub 5 yaitu tuntutan ganti rugi karena tidak disertai bukti-bukti, maka harus ditolak.”
    6. Putusan Mahkamah Agung No. 19 K/Sip/1983 tanggal 3 September 1983, yang dalam pertimbangan hukumnya menyatakan:
    7. “Menimbang bahwa oleh karena gugatan ganti rugi tersebut tidak diperinci dan lagi pula belum diperiksa oleh judex factie, maka gugatan ganti rugi tersebut tidak dapat diterima.”
    8.     Putusan Mahkamah Agung No. 550 K/Sip/1979 tanggal 8 Mei 1980, yang dalam pertimbangan hukumnya menyatakan:
    9. “Bahwa petitum 4 s.d. 6 dari penggugat asal tentang ganti rugi harus dinyatakan tidak dapat diterima oleh karena kerugian-kerugian yang diminta tidak diadakan perincian.”
    10.  
    11. Putusan Mahkamah Agung No. 492 K/Sip/1970 tanggal 16 Desember 1970, dinyatakan bahwa:
    12. “ganti rugi sejumlah uang tertentu tanpa perincian kerugian-kerugian dalam bentuk apa menjadi dasar tuntutan itu, harus dinyatakan tidak dapat diterima, karena tuntutan-tuntutan tersebut adalah tidak jelas/tidak sempurna”
    13. [Himpunan Kaidah Hukum Putusan Perkara dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Tahun 1969-2008 – hal 16]
    14.     Putusan Mahkamah Agung No.459K/Sip/1975 tanggal 18 September 1975 menentukan:
    15. “penentuan ganti rugi, baru dapat dikabulkan apabila si penuntut dapat membuktikan secara terperinci adanya kerugian dan besarnya kerugian tersebut”
  1. KESIMPULAN:

    Berdasarkan uraian diatas maka didapatkan beberapa kesimpulan sebagai berikut:

    1. Konsep Tanggung Jawab Hukum Praduga Bersalah (Presumption of Liability) bagi perusahaan penerbangan atas bagasi pesawat sebagaimana diatur didalam Pasal 44 (1) PP No 40/1995 yang bertujuan untuk melindungi kepentingan penumpang dan/atau pemilik barang sudah tepat. Hal ini disebabkan penumpang dan/atau pemilik barang tidak dibebani tanggung jawab untuk membuktikan bahwa perusahaan penerbangan melakukan kesalahan. Perusahaan penerbangan diwajibkan untuk membayar ganti rugi atas bagasi pesawat tanpa harus penumpang dan/atau pemilik barang dapat membuktikan terjadinya kerugian akan tetapi ganti rugi yang diberikan terbatas.
    2. Permasalahan yang sering terjadi adalah disebabkan karena ketentuan Pasal 44 (1) PP No 40/1995 yang membatasi tanggung jawab perusahaan penerbangan hanya sebatas Rp.100.000,00 (seratus ribu Rupiah) per Kilogram atas setiap bagasi pesawat yang rusak atau hilang. Hal ini menjadi permasahan karena dalam kenyataan yang terjadi adalah nilai rill bagasi pesawat jauh lebih besar dari pada pembatasan tersebut sehingga penumpang dan/atau pemilik barang merasa dirugikan.
    3. Pembatasan tanggung jawab perusahaan penerbangan atas bagasi pesawat sebagaimana diatur didalam Pasal 44 (1) PP No 40/1995 sebesar Rp.100.000,00 (seratus ribu Rupiah) per Kilogram sudah tidak sesuai dengan ketentuan hukum international tentang penerbangan dimana penerbangan di Uni Eropa saat ini sudah menggunakan berdasarkan jarak penerbangan dan ditentukan berdasarkan dengan perhitungan Special Drawing Right.
    4. Dalam hal penumpang dan/atau pemilik barang merasa ganti rugi sebagaimana diatur Pasal 44 (1) PP 40/1995 tidak cukup maka masih terdapat upaya hukum lainnya bagi penumpang dan/atau pemilik barang untuk mendapatkan ganti kerugian materiil dan sebenarnya terjadi yaitu dengan cara mengajukan gugatan melalui dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan pengadilan negeri yang berwenang atas dasar Pasal 7 Jo Pasal 19 Undang Undang Perlindungan Konsumen Jo Pasal 1365 jo Pasal 1367 KUHPerdata mengenai perbuatan melawan hukum. Sehubungan dengan pengajuan gugatan ganti rugi ini penumpang dan/atau pemilik barang dibebani kewajiban untuk membuktikan unsur-unsur perbuatan melawan hukum (i) adanya kesalahan/perbuatan melanggar hukum, (ii) adanya kerugan dan (iii) adanya hubungan antara kesalahan dan kerugian yang terjadi. Dalam pembuktian ini penumpang dan/atau pemilik barang pasti akan mengalami kesulitan dalam hal pembuktian unsur-unsur tersebut.

 

Deliver by,

 

AK

 
1 Comment

Posted by on June 3, 2011 in Civil, Uncategorized

 

Tags: , , ,

One response to “KEWAJIBAN PERUSAHAAN PENERBANGAN ATAS BAGASI PESAWAT

  1. Pendekar212

    October 3, 2011 at 11:11 am

    Pada tanggal 8 Agustus 2011 Pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM.77 Tahun 2011 Tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara (“Permenhub No.77/2011”), pada Pasal 6 dan Pasal 7 Permenhub 77/2011 disebutkan secara tegas sebagai berikut:

    Pasal 6

    (1) Pengangkut dibebaskan dari tuntutan ganti kerugian terhadap hilangnya barang berharga atau barang yang berharga milik penumpang yang disimpan di dalam bagasi tercatat, kecuali pada saat pelaporan keberangkatan (check-in), penumpang telah menyatakan dan menunjukkan bahwa di dalam bagasi tercatat terdapat barang berharga atau barang yang berharga, dan pengangkut setuju untuk mengangkutnya.
    (2) Dalam hal pengangkut menyetujui barang berharga atau barang yang berharga di dalam bagasi tercatat diangkut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengangkut dapat meminta kepada penumpang untuk mengasuransikan barang tersebut.

    Pasal 7

    “(1) Jumlah ganti kerugian terhadap kargo yang dikirim hilang, musnah, atau rusak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d ditetapkan sebagai berikut:
    a.terhadap hilang atau musnah, pengangkut wajib memberikan ganti kerugian kepada pengirim sebesar Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah) per kg;
    b.terhadap rusak sebagian atau seluruh isi kargo atau kargo, pengangkut wajib memberikan ganti kerugian kepada pengirim sebesar Rp. 50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) per kg;
    c.apabila pada saat menyerahkan kepada pengangkut, pengirim menyatakan nilai kargo dalam surat muatan udara (airway bill), ganti kerugian yang wajib dibayarkan oleh pengangkut kepada pengirim sebesar nilai kargo yang dinyatakan dalam surat muatan udara.
    (2) Kargo dianggap hilang setelah 14 (empat belas) hari kalender terhitung sejak seharusnya tiba di tempat tujuan.”

     

Leave a reply to Pendekar212 Cancel reply